Rabu, 05 Juli 2017

Hakekat Manusia Menurut Søren Aabye Kierkegaard



Søren Aabye Kierkegaard (5 Mei 1813-11 November 1855) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang. Ludwig Wittgensteinberpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Riwayat Hidup

Søren Kierkegaard dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya di Kopenhagen, ibukota Denmark. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat saleh. Ia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Ia percaya bahwa dosa-dosa pribadinya, seperti misalnya mengutuki nama Allah pada masa mudanya dan kemungkinan juga menghamili ibu Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini. Meskipun banyak dari ketujuh anaknya meninggal dalam usia muda, ramalannya tidak terbukti ketika dua dari mereka melewati usia ini. Perkenalan dengan pemahaman tentang dosa pada masa mudanya, dan hubungannya dari ayah dan anak meletakkan dasar bagi banyak karya Kierkegaard (khususnya Takut dan Gentar). Ibunda Kierkegaard, Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard, tidak secara langsung dirujuk dalam buku-bukunya, meskipun ia pun mempengaruhi tulisan-tulisannya di kemudian hari. Meskipun sifat ayahnya kadang-kadang melankolis dari segi keagamaan, Kierkegaard mempunyai hubungan yang erat dengan ayahnya. Ia belajar untuk memanfaatkan ranah imajinasinya melalui serangkaian latihan dan permainan yang mereka mainkan bersama.

Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum meninggal dunia, ia meminta Søren agar menjadi pendeta. Søren sangat terpengaruh oleh pengalaman keagamaan dan kehiudpan ayahnya dan merasa terbeban untuk memenuhi kehendaknya. Dua hari kemudian, pada 11 Agustus, Kierkegaard menulis: "Ayah meninggal dunia hari Rabu. Saya sungguh berharap bahwa ia dapat hidup beberapa tahun lebih lama lagi, dan saya menganggap kematiannya sebagai penghorbanan terakhir yang dibuatnya karena cinta kasihnya kepada saya; ... ia meninggal karena saya agar, bila mungkin, saya masih dapat menjadi sesuatu. Dari semua yang telah saya warisi daripadanya, kenangan akan dia, potretnya dalam keadaan yang sangat berbeda (transfigured) ... sungguh berharga bagi saya, dan saya akan berusaha untuk melestarikan (kenangannya) agar aman tersembunyi dari dunia."

Kierkegaard masuk ke Sekolah Kebajikan Warga, memperoleh nilai yang sangat baik dalam bahasa Latin dan sejarah. Ia melanjutkan pelajarannya dalam bidang teologi di Universitas Kopenhagen, namun sementara di sana ia semakin tertarik akan filsafat dan literatur. Di universitas, Kierkegaard menulis disertasinya, Tentang Konsep Ironi dengan Referensi Terus-Menerus kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang penting dan dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi untuk menjadi sebuah tesis filsafat. Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri Artium, yang kini setara dengan Ph.D. Dengan warisan keluarganya, Kierkegaard dapat membiayai pendidikannya, ongkos hidupnya dan beberapa penerbitan karyanya.

Sebuah aspek penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam karyanya) adalah pertunangannya yang putus dengan Regine Olsen (1822 - 1904). Kierkegaard berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya. Begitu pula dengan Regine. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menulis tentang cintanya kepada Regine:

Engkau ratu hatiku yang tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, dalam kepenuhan pikiranku, di sana ... ilahi yang tak dikenal! Oh, dapatkah aku sungguh-sungguh mempercayai dongeng-dongeng si penyair, bahwa ketika seseorang melihat sebuah obyek cintanya, ia membayangkan bahwa ia sudah pernah melihatnya dahulu kala, bahwa semua cinta seperti halnya semua pengetahuan adalah kenangan semata, bahwa cinta pun mempunyai nubuat-nubuatnya di dalam diri pribadi. ... tampaknya bagiku bahwa aku harus memiliki kecantikan dari semua gadis agar dapat menandingi kecantikanmu; bahwa aku harus mengelilingi dunia untuk menemukan tempat yang tidak kumiliki dan yang merupakan misteri terdalam dari keseluruhan keberadaanku yang mengarah ke depan, dan pada saat berikutnya engkau begitu dekat kepadaku, mengisi jiwaku dengan begitu dahsyat sehingga aku berubah (transfigured) bagi diriku sendiri, dan merasakan sungguh nikmat berada di sini.
— Søren Kierkegaard, Journals (2 Februari 1839)

Pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun, Kierkegaard segera merasa kecewa dan melankolis tentang pernikahan. Kurang dari setahun setelah pinangannya, ia memutuskannya pada 11 Agustus 1841. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menyebutkan keyakinannya bahwa sifat "melankolis"nya membuatnya tidak cocok untuk menikah; tetapi motif sebenarnya untuk memutuskan pertunangannya itu tetap tidak jelas. Biasanya diyakini bahwa keduanya memang sangat saling mencintai, barangkali bahkan juga setelah Regine menikah dengan Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang pegawai negeri terkemuka (jangan dikacaukan dengan filsuf Jerman Friedrich von Schlegel, (1772-1829) ). Pada umumnya hubungan mereka terbatas pada pertemuan-pertemuan kebetulan di jalan-jalan di Kopenhagen. Namun, beberapa tahun kemudian, Kierkegaard bahkan sampai meminta izin suami Regine untuk berbicara dengan Regine, namun Schlegel menolak.

Tak lama kemudian, pasangan itu berangkat meninggalkan Denmark, karena Schlegel telah diangkat menjadi Gubernur di Hindia Barat Denmark. Pada saat Regine kembali ke Denmark, Kierkegaard telah meninggal dunia. Regine Schlegel hidup hingga 1904, dan pada saat kematiannya, ia dikuburkan dekat Kierkegaard di Pemakaman Assistens di Kopenhagen.

Kierkegaard banyak sekali mempengaruhi literatur abad ke-20. Tokoh-tokoh yang sangat dipengaruhi oleh karya-karyanya termasuk Walker Percy, W. H. Auden, Franz Kafka, David Lodge, dan John Updike.

Kierkegaard juga sangat berpengaruh terhadap psikologi dan ia lebih kurang merupakan pendiri dari psikologi Kristen dan psikologi dan terapi eksistensial. Para psikolog dan terapis eksistensialis (seringkali disebut "humanistik") termasuk Ludwig Binswanger, Victor Frankl, Erich Fromm, Carl Rogers, dan Rollo May. May mendasarkan bukunya The Meaning of Anxiety (Makna Kecemasan) pada karya Kierkegaard Konsep tentang Kecemasan. Karya sosiologis Kierkegaard Dua Zaman: Zaman Revolusi dan Masa Kinimemberikan kritik yang menarik terhadap modernitas. Kierkegaard juga dilihat sebagai pendahulu penting dari pasca-modernisme. 

Kierkegaard meramalkan bahwa setelah kematiannya ia akan terkenal, dan membayangkan bahwa karyanya akan dipelajari dan diteliti dengan intensif. Dalam jurnal-jurnalnya, ia menulis:

Apa yang dibutuhkan zaman ini bukanlah seorang jenius orang jenius sudah cukup banyak, melainkan seorang martir, yang untuk mengajar manusia agar taat hingga mati, ia sendiri akan taat hingga mati. Apa yang dibutuhkan zaman ini adalah kebangkitan. Dan karena itu suatu hari kelak, bukan hanya tulisan-tulisan saya, tetapi juga seluruh hidup saya, seluruh misteri yang membangkitkan tanda tanya tentang mesin ini akan dipelajari dan dipelajari terus. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana Tuhan menolong saya dan karena itu adalah harapan saya terakhir bahwa segala sesuatunya adalah untuk kemuliaan-Nya
— Søren Kierkegaard, Journals (20 November 1847)

Latar Belakang Pemikiran Søren Kierkegaard

Cetusan eksistensialisme yang digaungkan Søren Kierkegaard bertitik tolak dari bangunan filsafat idealisme Jerman. Eksistensialisme merupakan suatu gugatan terhadap filsafat idealisme yang cenderung menguniversalkan persoalan realitas. Dan mengabaikan eksistensi individu. Dalam perjalanan karier filsafatnya, Kierkegaard sebenarnya mengagumi idelaisme Hegel, karena Hegel dengan Idealismenya mampu menjawab persoalan yang sangat mendalam dengan jawaban yang sangat mendalam dan menyeluruh tentang sejarah umat manusia, yang pada waktu itu sama sekali baru (jawaban Hegel yakni Idealisme).

Tetapi perjalanan hidup Kierkegaard yang pahit dan tragis, pada akhirnya membawanya pada kesadaran akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-persoalan hidup yang lebih konkret dan factual, yang dialami dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap manusia. Persoalan-persoalan seperti; kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan, dan sebagainya adalah persoalan hidup yang harus dicari jawaban atau maknanya. Persoalan seperti itu tidak mungkin dapat diterangkan oleh —atau dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran— Hegel. Idalisme Hegel terlampau abstrak, “tidak menapak ke bawah”, melupakan kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kehidupan konkret dan factual manusia serta permasalahannya yang mengemuka, luput dari jangkauan idealisme Hegel.

Kierkegaard bahkan melihat Hegelianisme merupakan ancaman besar terhadap individu, karena individu dilihat tidak lebih dari sekedar titik atau percikan dalam sejarah. Sehingga Kierkegaard hadir dengan epistemologinya untuk mendobrak “abstraksionisme” Hegel yang memutlakan Idea abstrak atau Roh sebagai kenyataan. Bagi Kierkegaard, Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit ke dalam realitas yang abstrak. Padahal menurutnya, manusia tidak pernah hidup sebagai “Aku umum” tetapi “Aku Individual” dan tidak diasalkan kepada yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi” yang di dalamnya terkandung suatu perpindahan yaitu dari “kemungkinan” ke “kenyataan”.

Eksistensi Manusia menjadi Pribadi Sempurna Kierkegaard

Kierkegaard adalah filsuf pertama yang memperkenalkan istilah “eksistensi” menurut pengertian yang dipakai di abad ke-20 dalam aliran yang disebut eksistensialisme. Konsep eksistensi ini sebagai bentuk negasi asumsi Hegelian bahwa kebenaran adalah totalitas obyektif, sementara bagi Kierkegaard, kebenaran adalah individu yang bereksistensi. Dalam The Point of View, dia menegaskan: “kawanan– bukan kawanan ini atau itu, kawanan yang sekarang masih hidup atau yang sudah mati, kawanan bangsa yang ternista atau terunggul, bangsa yang kaya atau miskin, dstnya. Kawanan dalam pengertian ini adalah ketidakbenaran, dengan alasan bahwa kawanan itu membuat individu sama sekali tak bersalah dan tak bertanggung jawab. Atau sekurang-kurangnya memperlemah rasa tanggung jawabnya dengan merduksinya ke dalam sebuah kelompok”.

Istilah “eksistensi” hanya dapat diterapkan pada manusia, atau lebih tepat lagi pada individu konkret. Hanya aku yang konkret ini yang bereksistensi, maka aku tidak bisa direduksi ke realitas-realitas lain, entah system ekonomi, Idea, masyarakat, dll. Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola-pola abstrak dan mekanis melainkan terus-menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Hanya aku konkret yang bisa mengambil keputusan eksistensial itu, dan tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempatku untuk bereksistensi. Dengan kata lain, eksistensi adalah “diri autentik”.

Manusia itu “eksistensi”. Bereksistensi bagi Kierkegaard adalah merealisasikan diri, mengikat diri dengan bebas, mempraktekkan keyakinannya, dan mengisi kebebasannya. Menurut Kierkegaard, pertama-pertama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksitensinya sendiri. Eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang dilakukan tiap orang bagi dirinya sendiri; berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Adapun tahapan eksistensi menurut Kierkegaard adalah, sbb:

  • Tahap Estetis

Pada tingkatan ini, sorang manusia berkelakuan menurut gerak hati (impulses) dan emosi atau perasaan-perasaan. Manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistic, dan biasanya bertindak menurut suasana hati. Manusia model ini tidak mempunyai komitmen dan keterlibatan apapun dalam hidupnya. Ia tidak mempunyai passion dalam menyikapi dan menindaklanjuti suatu persoalan. Jika manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai passion atau antusiasme dan keterlibatan, lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam jiwa mereka? Keputusasaan! Manuisa ini tidak mempunyai pegangan yang pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan sebagai tambatan yang kokoh dalam menjalankan hidupnya. Tidak ada cinta, dan tidak ada ketertarikan untuk mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Manusia estetis juga adalah manusia yang hidup tanpa jiwa. Manusia estetis mengetahui tiadanya standar-standar moral universal. Ia tidak memiliki iman agama yang khusus. Motivasi utamanya ialah hasrat atau keinginan untuk menikmati bermacam-macam kesenangan menurut perasaan. Manusia bisa tetap eksis pada tingkatan ini karena ia dengan sengaja telah memilih estetis. Atau ia mau maju ke level yang baru, melalui suatu transisi di mana hal ini tidak dapat ditempuh dengan berpikir saja tetapi harus dengan perbuatan keputusan atau dengan suatu tindakan juga dengan suatu komitmen.

  • Tahap Etis

Individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri padanya. Orang mulai menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Di dalam tahap ini sudah ada passiondalam menjalani kehidupan ini berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Hidup manusia etis bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Akar kehidupannya ada dalam dirinya sendiri dan pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Ia akan menolak segala kuasa di luar dirinya yang tidak sesuai dengan prinsip yang dipegang dirinya. Peran individu dan otonomitas sangat dihargainya. Ia akan menerima kebenaran sejauh sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dipegangnya. Dan bagi Kierkegaard, orang yang hidup pada level ini masih belum sempurna. Realiatas tempat ia menceburkan diri adalah baru realitas mundane, realitas fana. Sehingga sesungguhnya ia masih harus melalui satu tahap terakhir yang paling sempurna, yakni tahap religius.

  • Tahap Religius

Keotentikan manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Lompatan ini memang lebih sulit dari pada lompatan dari tahap estetis menuju tahap etis. Alasan utama dari kesulitan yang ada adalah tidak diperlukan pertimbangan rational. Yang diperlukan dan merupakan hal yang paling utama dalam melakukan lompatan ini adalah pertimbangan yang sangat subjektif, yakni dengan iman. Hanya manusia yang memiliki iman yang mampu untuk memasuki tahap ini. Tetapi justru hal inilah yang menurut Kierkegaard, manusia menjadi manusia dan berada sebagai “ada” yang sesungguhnya, yang berbeda dengan keberadaan “ada-ada” yang lain. Saat manusia hidup dalam realitas subjektif transenden ini, dia akan hidup hanya mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (tahap etis) maupun pada tuntutan pribadi yang mengikuti tuntutan zaman (tahap estetis). Orang yang memilih untuk percaya akan tunduk, secara terus menerus, secara akrab ada dalam kehadiran suatu personal yang mahakuasa, mahatahu. Yang lebih penting dari apayang dipercaya adalah bagaimana itu dipercaya- yakni dengan sepenuh hati, dengan “ketakutan dan gemetaran”.

Karya-Karya Søren Kierkegaard
  1. Konsep Ironi (Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn til Socrates)
  2. Ini/Itu (Enten - Eller)
  3. Takut dan Gentar (Frygt og Bæven)
  4. Repetisi (Gjentagelsen)
  5. Fragmen Filsafat (Philosophiske Smuler)
  6. Konsep tentang Kecemasan (Begrebet Angest)
  7. Tahap-tahap Jalan Kehidupan (Stadier paa Livets Vei)
  8. Menyimpulkan Catatan Penutup yang Tidak Ilmiah bagi Fragmen-fragmen Filsafat(Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift)
  9. Wacana Membangun dalam Berbagai Roh (Opbyggelige Taler i forskjellig Aand)
  10. Karya Cinta Kasih (Kjerlighedens Gjerninger)
  11. Wacana Kristen (Christelige Taler)
  12. Nestapa Hingga Mati (Sygdommen til Døden)
  13. Praktik dalam Kekristenan (Indøvelse i Christendom)
SUMBER









Kamis, 15 Juni 2017

Jean Paul Sartre



Eksistensialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa eksistensi bukanlah obyek dari berfikir abstrak atau pengalaman kognitif (akal pikiran), tetapi merupakan eksistensi atau pengalaman langsung, bersifat pribadi dan dalam batin individu. Jelasnya mendahului esensi. Eksistensi merupakan label khusus yang hanya dikenakan kepada manusia. Dengan cara keluar dari diri, maka manusia menemukan dirinya. Manusia bukan obyek dan tidak sekedar Ada dan meng”Ada”, manusia selalu keluar, muncul dari tidak sadar menjadi sadar.

Jean Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre adalah seorang filsuf dan penulis Prancis yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis dan merupakan anak tunggal dari keluarga bourgeois yang taat beraga Katolik. Ayahnya, Jean Baptiste Sartre dikenal sebagai prajurit militer dan ibunya Anne Schweitzer berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Alsatian. Sartre memiliki kakek bernama Charles Schweitzer yang dikenal sebagai seorang guru bahasa Jerman di sekolah menengah atas dan paman bernama Albert Schweitzer yang dikenal luas sebagai penulis terkenal peraih penghargaan nobel.

Namun masa kecil Sartre yang membahagiakan itu harus berakhir ketika di tahun 1917, ibunya menikah lagi dengan seorang polytechnicien. Sartre tidak pernah menyukai ayah tirinya itu. Sejak pernikahan kedua ibunya, Sartre pindah ke La Rochelle dan tinggal di kota itu selama tiga tahun. Baginya waktu tiga tahun tersebut menjadi masa-masa yang paling menyedihkan dalam hidupnya karena menganggap ayah tirinya telah mengambil perhatian ibunya yang sebelumnya hanya tertuju pada Sartre.

Sejak muda, Sartre tidak menyukai lingkungan borjuis dan segala kebiasaannya. Perasaan tidak suka itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan muak dan keinginan untuk memberontak. Perasaaan dan keinginannya itulah yang mendasari roman-romannya. Pada tahun 1938, saat sedang menjadi dosen muda di Lycée du Havre, Sartre menulis novel berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre yang terkenal. Nausée bercerita tentang seorang peneliti yang patah semangat, Roquentin, di sebuah kota yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre. Roquentin menyadari seutuhnya akan fakta bahwa benda-benda mati serta situasi khayalan merupakan dua hal yang sangat berbeda dengan eksistensi dirinya.

Sartre juga menulis novel Le Mur. Le Mur menekankan pada aspek kesadaran di mana manusia mengenali dirinya sendiri dan absurditas dari usaha-usaha mereka untuk menghadapi diri mereka sendiri secara rasional.

Pada tahun 1929, Sartre bergabung dalam Angkatan Bersenjata Nasional Perancis sebagai seorang meteorologist. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjarakan selama 9 bulan sebagai seorang tahanan perang pada tahun 1940. Selama menjadi tahanan perang Sartre ia harus berpindah-pindah dari Padoux, kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah ia sempat menulis skenario teater pertamanya Bariona, fills du tonnerre.

Jean Paul Sartre dan Pemikirannya

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.

Donny Gahral Ardian di dalam bukunya yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya. Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.

Filsuf-filsuf sebelum Sartre cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.

  • Kesadaran

Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.

  • Waktu

Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.

  • Kebebasan

“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.

Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.

Sumber

Sabtu, 27 Mei 2017

Hakekat Manusia Menurut Pemikiran Auguste Comte



Berbicara mengenai tahap pemikiran manusia maka tak akan lepas dari teori hukum tiga tahap yang dicetuskan oleh Auguste Comte. Menurut Comte, bukan hanya dunia yang mengalami proses ini, namun kelompok manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, individu dan bahkan pikiran pun melalui ketiga tahap tersebut. Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik.

1.       Tahap Teologis
Tahap ini menjadi ciri dunia sebelum tahun 1300. Pada tahap teologis ini, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan. Tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia. Cara pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari gejala-gejala. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi daripada makhluk-makhluk selain insani. Menurut Comte, pada tahap ini manusia berkeyakinan bahwa setiap benda-benda merupakan ungkapan dari supernaturalisme. Tahap ini bisa disebut sebagai tahap kekanak-kanakan dimana manusia tidak mempunya daya kritis sama sekali.

Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap.
·         Animisme
Tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa.
·         Polytheisme
Tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri.
·         Monotheisme
Tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa)

2.       Tahap Metafisik
Tahap ini menurut Comte berlangsung antara tahun 1300 sampai dengan 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak seperti “alam”, dapat menjelaskan segalanya. Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari tahap teologi, karena ketika tahap teologi manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Ketika manusia mencapai tahap metafisika, manusia mulai mempertanyakan dan mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik mengganti kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Dalam mencoba menjelaskan berbagai peristiwa dan fenomea alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal budinya, sehingga diperoleh pengertian-pengertian metafisis. Prinsip-prinsip penjelasan tentang realitas, fenomena dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Namun, oleh karena penjelasan yang dilakukan belum bersifat empiric, maka cara menjelaskan berbagai realita, kemudia itu tidak berhasil membuahkan ilmu pengetahuan baru, dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia, keharusan mutlak dan berbagai pengertian lainnya. Ini adalah tahap peralihan dimana alam berpikir manusia sudah menanyakan tentang fenomena-fenomena yang ada di sekitar dirinya.

3.       Tahap Positif
Tahap ini yang diperkirakan terjadi pada tahun 1800 dan seterusnya, merupakan tahap pamungkas dari hukum tiga tahap, atau bisa disebut tahap final. Pada tahap ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dengan berbagai  eksperimen yang akhirnya menghasilkan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan (secara empiris). Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan. Tujuan tertinggi dari tahap positif adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.

Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dia memang menegaskan bahwa kekacauan intelektual adalah sebab dari kekacauan sosial. Kekacauan yang tumbuh dari sistem ide sebelumnya (teologis dan metafisika) yang terus ada pada tahap positif (ilmiah). Baru ketika positivis mengambil kendali sepenuhnya, keresahan sosial berhenti. Perlu dicatat bahwa proses ini adalah proses yang berjalan secara evolusioner, tidak perlu mendorong terjadinya gangguan sosial dan revolusi. Positivisme, meskipun mungkin tidak secepat yang dikehendaki sementara orang, pasti akan segera datang.

SUMBER :


Selasa, 16 Mei 2017

Friedrich Nietzsche

Sosok Nietzsche dikenal dengan pemikiran yang sangat unik dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi pada era abad ke-18. Dalam beberapa sumber tertentu sosok Nietzsche dikenal dengan pengaruh radikalnya. Oleh beberapa sebab, karya-karyanya bersifat ambiguitas dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi. Dari buah karyanya, Nietzsche menjadi orang yang berpengaruh pada pemikiran post-moderenisme. Dibalik itu, seperti yang tampak dalam sifat ego Nietzsche, filsafatnya juga salah satu pendobrak awal pemikiran eksistensi yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh kontemporer.

Gaya filsafatnya amat khas, yakni mengkritik segala sesuatu dan menyampaikan gagasan filosofis dengan gaya yang tidak lazim. Ia hadir sebagai semacam penentang kemapanan, baik dalam gaya bahasa, sejarah, kebudayaan, bahkan nantinya pada kemapanan hidupnya. Dalam bahasa misalnya tidak memakai gaya filsuf yang pernah mengenyam persekolahan, ia memakai bahasa sehari-hari bak seorang pakar untuk mengungkapkan apa pun yang ia katakana. Ia berwatak informal, bergairah, aforistis.

Nietzsche mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organism yang paling pantas untuk bereksistensi hiduplah yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka kekuatan adalah kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang. Yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.

Kehendak Untuk Berkuasa

Konsep terpenting dalam buah karya yang melekat erat dalam beberapa tulisannya adalah “will to power”. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Nietzsche mengembangkan konsep inti dari Schopenhauer dari kehidupan Yunani Kuno yang mengadopsi gagasan-gagasan timur. Berkesimpulan, bahwa alam semesta dikendalikan oleh kehendak buta. Nietzsche dalam study mencari gagasan Yunani Kuno telah menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong peradaban semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam mencari sebuah kekuasaan. Hal ini dipertegas Nietzsche yang tertulis dalam buku terjemahan karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale sebagai berikut :

“Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini dan tidak ada lagi yang lainnya!”

Dari kesimpulan Nietzsche mengenai “Will to Power” adalah bahwa manusia terdorong oleh suatu “kehendak untuk berkuasa”. Dengan kata lain, jantung pergerakan tindakan yang dilakukan manusia tidak lepas dari suatu kehendak. Gagasan-gagasan ini juga meliputi beberapa aspek perasaan kerendahan hati, cinta, dan kewelas asihan (keibaan, compassion). Tetapi, fakta yang sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yang cerdik dari “Will to Power”. Dengan demikian, suatu konsep “Will to Power” dapat menjadi tolak ukur untuk memahami motif suatu tindakan sosial yang dilakukan oleh seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.

Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah intisari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energy-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.


Sumber :






Selasa, 18 April 2017

Arthur Schopenhauer

Tentang Arthur Schopenhauer

Arthur Schopenhauer lahir di Danzig (sekarang Gdansk), orangtuanya bernama Heinrich Floris dan Johanna Schopenhauer. Kedua orangtuanya adalah keturunan orang kaya Jerman dan keluarga bangsawan. Walaupun kedua orangtuanya kaya raya tetapi keluarganya sangat tidak harmonis. Schopenhauer jarang diperhatikan oleh ayahnya karena ayahnya sibuk dengan bisnisnya. Ayahnya meninggal karena bunuh diri dan meninggalkan bisnis keluarga yang harus diteruskan oleh Schopenhauer. Tetapi hal itu hanya bertahan dua tahun, Schopenhauer meninggalkan bisnis keluarga dan tinggal bersama ibunya. Sepanjang hidupnya Schopenhauer selalu hidup dalam penderitaan dan ketakutan. Saat semua warisan dari orangtuanya diberikan kepadanya dan menjadi bujang kaya, dia hidup dalam ketakutan dan terancam sehingga dia selalu membawa pistol di sampingnya ketika dia tidur. Hingga akhir hidupnya pun dia tidak menikah, setiap akan menikah pasangan perempuan selalu membatalkan acara pernikahannya. Kebenciannya terhadap perempuan semakin terlihat ketika pengadilan menuntut Schopenhauer untuk menafkahi selama 20 tahun perempuan yang menuduh dirinya telah melakukan hal yang kejam kepada perempuan tersebut. Arthur Schopenhauer juga menerbitkan banyak buku dalam hidupnya, tetapi buku tersebut tidak laku dan hanya dibeli oleh dirinya sendiri untuk disimpannya. 

Pada akhirnya penderitaan yang dialami Schopenhauer itulah yang membuatnya menggali lebih dalam mengenai filsafat kehidupan manusia. Dipengaruhi oleh ajaran Buddha dan Kant, Schopenhauer mulai mempertanyakan dan menentang filsafat yang ada saat itu. Pesimisme Schopenhauer menghasilkan pikiran-pikiran yang jelas dan konkret. Dia merasa kehidupan adalah sia-sia dan dunia adalah representasi idea tau pemikiran manusia. Realitas adalah kehendak itu sendiri, dan keinginan manusia adalah kehendak buta (blind will) yang menjadi sumber penderitaan manusia. Supaya tidak menderita, manusia harus menghilangkan egoism dan menolong orang lain.

Pemikiran Filosofis Arthur Schopenhauer

Filsafat Keinginan


Schopenhauer memberikan fokus kepada investigasinya terhadap motivasi seseorang. Sebelumnya, filsuf terkemuka Hegel telah mempopulerkan konsep Zeitgeist, ide bahwa masyarakat terdiri atas kesadaran akan kolektifitas yang digerakkan di dalam sebuah arah yang jelas. Schopenhauer memfokuskan diri untuk membaca tulisan-tulisan dua filsuf terkemuka pada masa kuliahnya, yaitu Hegel dan Kant. Schopenhauer sendiri mengkritik optimism logika yang dijelaskan oleh kedua filsuf terkemuka tersebut dan kepercayaan mereka bahwa manusia hanya didorong oleh keinginan dasar sendiri, atau Wille Zum Leben (keinginan untuk hidup) yang diarahkan kepada seluruh manusia.

Schopenhauer sendiri berpendapat bahwa keinginan manusia adalah sia-sia, tidak logika, tanpa pengarahan dan dengan keberadaan, juga dengan seluruh tindakan manusia di dunia. Schopenhauer berpendapat bahwa keinginan adalah sebuah keberadaan metafisika yang mengontrol tindak hanya tindakan-tindakan individual, agent, tetapi khususnya seluruh fenomena yang bisa diamati. Keinginan yang dimaksud oleh Schopenhauer ini sama dengan yang disebut dengan Kant dengan istilah sesuatu yang ada di dalamnya sendiri.

Pandangan filosofis Schopenhauer melihat bahwa hidup adalah penderitaan. Schopenhauer menolak kehendak. Apalagi dengan kehendak untuk membantu orang menderita. Ajaran Schopenhauer menolak kehendak untuk hidup dan segala manifestasinya, namun dia sendiri takut dengan kematian. I’am Staying Here.

Keputusan dan Hukuman

Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan. Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat. Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar. Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya. Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan. Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya. Segala kebutuhan dan tanggung jawab itu pun sudah dibawa sejak lahir dan bersifat kekal. Schopenhauer juga menegaskan jika tidak ada keinginan bebas, haruskah kejahatan dihukum?

Catatan

Filsafat Schopenhauer ini termasuk ke dalam Idealisme Jerman. Pendapat ini dibuktikan melalui perbadingan antara filosofis Schopenhauer dengan pandangan Idealisme Jerman. Keduanya mengajarkan bahwa realitas bersifat subjektif, artinya keseluruhan kenyataan merupakan konstruksi kesadaran subjek. Dunia ini juga dipandang sebagai ide. Pandangan Schopenhauer dengan Idealisme Jerman. Bagi Schopenhauer, dasar dunia ini transcendental dan bersifat irasional, yaitu kehendak yang buta. Kehendak ini buta, sebab desakannya untuk terus-menerus dipuaskan tidak bisa dikendalikan dan tidak akan pernah terpenuhi. Namun, justru keinginan yang tak sampai berarti penderitaan. Selanjutnya, menurut dia bahwa kehendak transcendental itu mewujudkan diri dalam miliaran eksistensi kehidupan, maka hidup itu sendiri merupakan penderitaan. Jalan keluar yang diusulkan Schopenhauer ini pun cukup logis. Kalau hidup ini adalah penderitaan, maka pembebasan dari penderitaan tersebut tentunya akan tercapai melalui penolakan kehendak untuk hidup. Konkretnya adalah lewat kematian raga dan bela rasa.

Cara pemikiran Schopenhauer ini menarik. Namun, tetap saja memiliki kesalahan.. Masalah dalam filsafatnya berkaitan dengan pandangannya atas pengetahuan tentang prinsip individuasi. Menurut Schopenhauer, berkat pengetahuan inilah manusia sadar bahwa dirinya adalah sama dengan semua makhluk hidup lain (dasar dari sikap bela rasa) sehingga dia tidak perlu memutlakkan diri dan keinginannya (dasar sikap mati raga atau penyangkalan diri). Tanpa pengetahuan ini, manusia tidak akan mengalami pencerahan dan tetap berada dalam kegelapan.

Anggapan Schopenhauer ini menekankan dua hal, yaitu bahwa kesadaran manusia terbukti lebih kuat dibandingkan nafsu dan keinginannya, dan bahwa karena itu dia juga mampu memperhatikan keadaan kepentingan orang lain, di dalam hal ini berarti bahwa manusia buanlah makhluk egois sebagai mana yang dipikirkan oleh Schopenhauer. Namun, jika kesadaran bisa menguatkan manusia menyangkal diri dan berbela rasa, bukankah demikian kehendak untuk hidup itu sendiri bukan merupakan dasar dari segalanya?





Minggu, 02 April 2017

Pemikiran Rene Descartes


Dalam pemikiran Descartes “Cogito Ergo Sum” yang berarti aku berfikir maka aku ada, Descartes menggunakan metode analisis kritis melalui keraguan (skeptic) dengan penyangsian. Yaitu dengan menyangsikan atau meragukan segala apa yang bisa diragukan. Descartes sendiri menyebutnya metode analitis. Descartes juga menegaskan metode lain: empirisme rasionil. Metode tersebut mengintregasikan segala keuntungan dari logika, analisa geometris, dan aljabar. Analisa geometris adalah ilmu yang menyatukan semua disiplin ilmu yang dikumpulkan dalam nama “ilmu pasti”.

Mengenai pendekatan yang digunakan Descartes dalam menganalisa pemikirannya, sudah kelihatan jelas bahwa beliau menggunakan pendekatan filsafat yang mana menganut paham rasionalisme yang sangat mengedepankan akal.

Dapat dipahami bahwasanya Rene Descartes dalam “Cogito Ergo Sum”nya menggunakan metode analitis tentang penyangsian dan dengan menggunakan pendekatan yang rasional.

Pokok-Pokok Pemikiran Descartes

1. Cogito Ergo Sum

Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes mempunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.

Cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada). Kalau terdapat suatu kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Descartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berpikir. Maka, Cogito Ergo Sum: saya yang sedang menyangsikan, ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku.

Apa sebab kebenaran ini bersifat sama sekali pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (Inggris: clearly and distinctly). Jadi, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.

2. Ide-ide bawaan

Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapat dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dengan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan” (Inggris: innate ideas). Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir masing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.

   a. Pemikiran

    Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.

   b. Tuhan Sebagai Wujud Yang Sama Sekali Sempurna

       Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.

   c. Keluasan

      Materi sebagai keluasan atau ekstensi (extension), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

3. Substansi

Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalam pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia member saya ide keluasaan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.

4. Manusia

Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualism tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis (sebuah kelenjar kecil yagn ketaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.

Karya Filsafat Rene Descartes

1. Pengetahuan Yang Pasti

Karya filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya, yakni adanya pertentangan antara scholasticism dengan keilmuan baru galilean-copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga bagian dapat diragukan.

   a. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi dapat diragukan, semisal kita memasukkan kayu lurus ke dalam air maka akan tampak bengkok.

   b. Fakta umum tentang dunia semisal api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut.

   c. Logika dan Matematika prinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu makhluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matriks.

Dari keraguan tersebut, Descrates hendak mencari pengetahuan apa yang tidak dapat diragukan. Yang akhirnya mengantarkan pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Baginya eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi bahwa pikiran itu sendiri eksis/ada.

Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu benda berpikir yang bersifat mental (res cogitans) bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis Descrates melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda itu ada.

2. Ontologi Tuhan dan Benda

Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan ada dan kemudian membuktikan bahwa benda material ada.

Descrates mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan adalah suatu makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul/disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala (sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah makhluk sempurna yang menaruhnya dalam pikiran saya, yakni Tuhan.

Setelah membuktikan adanya Tuhan, Descrates membuktikan bahwa benda material itu eksis. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu eksis. Apabila pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang menipu pikiran manusia, itu berarti Tuhan adalah penipu, dan bagi Descrates, penipu ialah ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah makhluk yang sempurna, oleh karena itu Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah ada.

3. Metafisika

Bagi Rene Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Yakni benda material yang terbatas (objek-objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia, dan sebagainya), benda mental-nonmaterial yang terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental yang tak terbatas (Tuhan).

Ia juga membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pembagian ini juga mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai ranah bagi keilmuan baru yang dibawa Galileo dan Copernicus, realitas mental bagi keilmuan dalam bidang agama, etika, dan sejenisnya.

Namun, dualismenya ini juga yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti Barkley misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan tubuh berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrem, baginya benda hidup selain manusia (contoh:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai bentuk material sama halnya seperti mesin.

Sumber Tulisan :




Rabu, 09 November 2016

My Goals

Tujuan hidup..

Ketika kita berpergian kita harus tahu kemana tujuan, untuk apa kita pergi, dan kapan kita harus memulai bepergian. Begitu pula dengan hidup. Kita harus punya tujuan, apa yang hendak kita capai dalam hidup. Bahkan orang yang selalu mengatakan bahwa dirinya hanya mengikuti alur mempunyai tujuan dalam hidupnya. Kita tidak dapat hidup tanpa punya tujuan yang jelas. Tujuan dalam hidup akan menentukan ke arah mana kamu akan berjalan. Sebenarnya dalam hidup itu kita hanya punya satu tujuan yang sama, yaitu kebahagiaan. Namun bentuk kebahagiaan masing-masing orang itu berbeda. Jadi, apa saja tujuan atau impianmu akan mendekatkanmu dengan kebahagiaan hidup. Dengan memiliki tujuan hidup yang jelas, itu akan membuat kita bersemangat, dan termotivasi untuk menjalani hidup termasuk dalam menghadapi segala kesulitan dan rintangannya.



THIS IS MY GOALS




Saat ini saya berkuliah di Universitas Esa Unggul,Jakarta. Saya menggambil jurusan Psikologi, alasan saya mengambil jurusan Psikologi adalah karena saya sangat tertarik dengan pikiran manusia. Tujuan hidup saya adalah untuk membantu orang lain agar hidupnya menjadi lebih baik, karena itulah saya membuat "My Goals" agar tujuan hidup saya lebih terarah dan tidak keluar dari jalurnya. Target saya untuk 10 tahun kedepan, tepatnya tahun 2026 adalah untuk menjadi seorang Psikolog yang mampu untuk menyelesaikan permasalahan orang lain, seperti orang yang kecanduan obat-obatan, orang yang depresi, dan juga anak-anak yang memerlukan penanganan khusus. Tetapi sebelum itu semua tercapai tentu ada tahapan-tahapan untuk mencapai semua itu. Target saya untuk 4-8 tahun kedepan, tepatnya tahun 2020-2024 adalah untuk lulus S1 dari Universitas Esa Unggul (Oktober 2020) sebagai Adwin Nur Pratomo, S.Psi kemudian saya akan mencari pengalaman kerja dulu selama 2 tahun. Setelah itu saya akan melanjut S2 di Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta. Mengambil S2 Psikologi profesi dan lulus S2 dari Universitas Gadjah Mada (Oktober 2024). Target saya untuk kurang dari 1 tahun ini (2016-2017), saya ingin memiliki berat badan 65 kg dan sixpack, hal yang saya lakukan adalah dengan berolahraga basket dan yoga. Saya juga ingin liburan ke Bali, tepatnya ke pantai Seminyak. Saya ingin kesana menggunakan pesawat terbang dan duduk di dekat jendela (ini adalah keinginan saya dari dulu). Saya akan liburan pada tanggal 28 Juli 2017 - 30 Juli 2017.
Itu tadi adalah goal-goal yang ingin saya raih dalam hidup saya. Terimakasih.