Sabtu, 27 Mei 2017

Hakekat Manusia Menurut Pemikiran Auguste Comte



Berbicara mengenai tahap pemikiran manusia maka tak akan lepas dari teori hukum tiga tahap yang dicetuskan oleh Auguste Comte. Menurut Comte, bukan hanya dunia yang mengalami proses ini, namun kelompok manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, individu dan bahkan pikiran pun melalui ketiga tahap tersebut. Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik.

1.       Tahap Teologis
Tahap ini menjadi ciri dunia sebelum tahun 1300. Pada tahap teologis ini, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan. Tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia. Cara pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari gejala-gejala. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi daripada makhluk-makhluk selain insani. Menurut Comte, pada tahap ini manusia berkeyakinan bahwa setiap benda-benda merupakan ungkapan dari supernaturalisme. Tahap ini bisa disebut sebagai tahap kekanak-kanakan dimana manusia tidak mempunya daya kritis sama sekali.

Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap.
·         Animisme
Tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa.
·         Polytheisme
Tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri.
·         Monotheisme
Tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa)

2.       Tahap Metafisik
Tahap ini menurut Comte berlangsung antara tahun 1300 sampai dengan 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak seperti “alam”, dapat menjelaskan segalanya. Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari tahap teologi, karena ketika tahap teologi manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Ketika manusia mencapai tahap metafisika, manusia mulai mempertanyakan dan mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik mengganti kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Dalam mencoba menjelaskan berbagai peristiwa dan fenomea alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal budinya, sehingga diperoleh pengertian-pengertian metafisis. Prinsip-prinsip penjelasan tentang realitas, fenomena dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Namun, oleh karena penjelasan yang dilakukan belum bersifat empiric, maka cara menjelaskan berbagai realita, kemudia itu tidak berhasil membuahkan ilmu pengetahuan baru, dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia, keharusan mutlak dan berbagai pengertian lainnya. Ini adalah tahap peralihan dimana alam berpikir manusia sudah menanyakan tentang fenomena-fenomena yang ada di sekitar dirinya.

3.       Tahap Positif
Tahap ini yang diperkirakan terjadi pada tahun 1800 dan seterusnya, merupakan tahap pamungkas dari hukum tiga tahap, atau bisa disebut tahap final. Pada tahap ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dengan berbagai  eksperimen yang akhirnya menghasilkan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan (secara empiris). Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan. Tujuan tertinggi dari tahap positif adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.

Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dia memang menegaskan bahwa kekacauan intelektual adalah sebab dari kekacauan sosial. Kekacauan yang tumbuh dari sistem ide sebelumnya (teologis dan metafisika) yang terus ada pada tahap positif (ilmiah). Baru ketika positivis mengambil kendali sepenuhnya, keresahan sosial berhenti. Perlu dicatat bahwa proses ini adalah proses yang berjalan secara evolusioner, tidak perlu mendorong terjadinya gangguan sosial dan revolusi. Positivisme, meskipun mungkin tidak secepat yang dikehendaki sementara orang, pasti akan segera datang.

SUMBER :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar